20 Januari 2009

Ibuku, Inspirasiku


Setiap kali berangkat ke rumah sakit tempatku menuntut ilmu, aku merasa lambaian tangan ibu mengiringiku seperti yang selalu dilakukannya saat aku sekolah menengah dulu. Seluruh masa yang pernah kujalani bersama beliau adalah rantai kenangan indah yang tak terputuskan. Apapun yang selanjutnya kuhadapi dalam hidupku hanyalah refleksi dari potongan-potongan rantai tak ternilai tersebut. Tak banyak yang dikatakannya, namun perilakunya mengajarkan banyak hal kepadaku, tentang hidup yang tak selalu mudah ini. Kami tertawa bersama untuk kejadian-kejadian yang menggembirakan, dan menangis bersama untuk hal-hal yang menyakitkan. Cintanya kepada Sang Pencipta dan seluruh makhluk ciptaan-Nya tercermin dari senyum dan sapaan hangat yang selalu dibagikannya. Hampir semua keputusan penting dalam hidupku adalah buah dari pelajaran-pelajaran berharga tersebut.
Saat ini aku telah merampungkan pendidikan untuk menjadi seorang psikiater. Arah inipun kutempuh setelah merenungkan tauladan ibuku. Tak pernah lekang dari ingatanku, saat-saat menakjubkan di mana beliau menunjukkan perhatiannya yang tak membeda-bedakan ummat Tuhan. Seorang wanita gelandangan pengidap gangguan jiwa (yang biasanya kita sebut “orang gila”) setiap hari berkunjung ke rumah kami hanya untuk sekedar minum kopi dan mengobrol dengan ibuku. Walaupun obrolan itu kadang menggelikan, namun ibuku berbuat seolah-olah hal tersebut bukan sesuatu yang aneh. Tak ada orang lain di lingkungan kami yang sudi membuang waktu untuk menyapa wanita tersebut. Mereka bahkan menasihati ibuku untuk menjaga jarak dengan wanita tersebut. Namun langkah beliau tak surut. Ditunjukkannya kepada dunia bahwa orang-orang semacam itupun membutuhkan hati kita, dan bila kita memberikannya dengan ikhlas maka mereka akan membalasnya dengan kasih, sebagaimana kodrat manusia lain. Butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya semua orang di lingkungan kami memercayai pendapat ibuku tersebut. Dan rentang waktu tersebutlah yang memberikan inspirasi terbesar bagiku untuk menetapkan langkah : memilih spesialisasi ilmu kedokteran jiwa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan seluruh ummatnya. Sejauh ini aku merasa pilihan tersebut sangat tepat bagiku, dan aku sangat bersyukur untuk itu.
Sejak setahun yang lalu kedua indera penglihatan ibuku tak lagi dapat berfungsi karena diabetes mellitus yang diidapnya, namun ia tetaplah seorang guru yang mengagumkan bagiku. Cintanya bagi sesama tetap mengalir dari senyum dan semangat yang dipancarkannya ke sekitar. Dan itu pula yang diterimanya sebagai balasan : cinta dan rasa terima kasih dari orang-orang yang telah menerima pelajarannya.
Terima kasih Bu, untuk semua benih kebaikan yang telah kau semaikan di dalam hidupku..

Tidak ada komentar: